POLITIK KOLONIAL LIBERAL DAN AGRARISCHE WET
DI INDONESIA ABAD XIX
Politik kolonial liberal di Eropa pada awalnya merupakan cerminan
antara perbedaan dalam bidang politik yang berhaluan totalitarisme
(fasisme dan komunisme) dan liberalisme (sosialisme dan kapitalisme).
Hubungan timbal balik antara ekonomi pasar dengan liberalisasi politik
yang relatif bisa dilihat pada studi perbandingan mengenai negara-negara
fasis maupun komunis. (Edwin Fogelman: 150, 1985)
Doktrin liberal jauh lebih mengutamakan masyarakat dari pada negara.
Dalam doktrin liberal klasik, “masyarakat pada dasarnya dianggap mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri dan negara baru ikut campur tangan hanya
kalau usaha-usaha masyarakat yang bersifat sukarela menemui kegagalan”.
Dengan demikian, teori Negara sebagai alat menempatkan negara pada
kedudukannya sebagai pelengkap. Sejauh individu dapat menjalankan
kehidupannya tanpa Negara, kaum liberal menentang keberadaan negara
bahkan jika negara dapat melakukan yang lebih baik dari pada individu.
(Edwin Fogelman: 190, 1985)
Selain itu, konsep hukum dibalik hukum secara langsung diturunkan dari
pandangan kosesual Negara dan masyarakat dalam liberalisme klasik.
Masyarakat dipahami sebagai himpunan bermacam-macam perkumpulan
sukarela, dan negara itu juga pada intinya dianggap sebagai badan yang
diorganisasikan secara sukarela, karena otoritasnya diperoleh atas dasar
persetujuan mereka yang diperintah. Liberalisme selalu menganut
pemikiran bahwa hubungan antara Negara dan masyarakat atau antara
pemerintah dan individu pada akhirnya ditentukan oleh hokum yang
kedudukannya lebih tinggi daripada hukum negara. (Edwin Fogelman:191,
1985)
Paham kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap
sebagai paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara
yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme muncul sebagai sikap
pendobrakan terhadap kekuasaan absolut dan didasarkan atas teori
rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Sejak tahun
1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat
erat. Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap
individu harus diberi akses seluas mungkin untuk melakukan
kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada intervensi dan campur tangan
dari negara. Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan
lagi. Bila liberalisme awal (early liberalism) lebih menekankan pada
hak-hak politik, maka sejak tahun 1900-an, liberalisme telah mencakup
hampir seluruh dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya liberalisasi
pemikiran. (Ramadhan: 2006)
Pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari
perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri
Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu
diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dapat
dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus
ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu
hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam
bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka
meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian
pendapatan negara juga akan bertambah banyak.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia
dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu
terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda
membuka Indonesia bagi para pengusaha swastaasing untuk menenemkan
modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal ini
ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang
Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet)
menjelaskan, bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik pemerintah
kerajaan Belanda. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam
jangka waktu antara 50-75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh
penduduk untuk bercocok tanam.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut
sistem liberalisme. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa pada masa itu
untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi
peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya
perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Selama masa
ini, pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan
berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan
perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang Agraria
(Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak
Undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya
orang-orang bukan pribumi Indonesia untuk menyewa tanah dari rakyat
Indonesia. (Poesponegoro, Marwati Djoned: 118, 1993)
Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka
Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar)
mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan
humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan
di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia Belanda), kaum
liberal berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat
Indonesia. Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU
Agraria tahun 1870 berisi:
1) Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta
2) Pengusaha dapat menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1) Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia, dan
2) Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu
membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para
pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para
pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini
dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah
sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke
Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan
Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan
gula. Isi dari UU ini yaitu:
1) Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2) Pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing
yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan
maupun pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul
di Indonesia :
1) Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki
kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita.
Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia
semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria
memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut:
1) Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4) Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi
ke daerah pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan
menjualnya kepada grosir.
5) Industri atau usaha pribumi mati karena
pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan
pabrik-pabrik.
Pengaruh Politik Liberalis Bagi Indonesia
Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para pengikut
aliran liberalisme berpendapat bahwa negara seharusnya tidak campur
tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada
kekuatan-kekuatan pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran
liberalisme berpendapat bahwa satu-satunya tugas negara adalah
memelihara ketertiban umum menegakkan hukum, dengan demikian kehidupan
ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini dapat diwujudkan,
para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala rintangannya
yang sebelumya telah dibuat dihapuskan. (Poesponegoro, Marwati Djoned:
121, 1993)
Ketika orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda
(setelah tahun 1850) mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di
koloni-koloni Belanda khususnya di Indonesia. Mereka berpendapat
ekonomi Hindia-Belanda akan berkembang dengan sendirinya jika diberi
peluang sepenuhnya kepada kekuatan-kekuatan pasar untuk bekerja
sebagaimana mestinya. Dalam prakteknya diartikan sebagai kebebasan
berusaha dan adanya modal swasta Belanda untuk mengembangkan sayapnya di
Hindia-Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi. (Poesponegoro,
Marwati Djoned: 121, 1993)
Bagi bangsa Indonesia, politik liberalisme jelas merupakan ideologi yang
dapat mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara
material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak
sesuai dan bertentangan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan
globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material adalah upaya
sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan
kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation
state.
Politik pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat
Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak
memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Kaum liberal
dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari
keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat. Contohnya perkebunan tebu
yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran.
Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar. Negeri Belanda
mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri
jajahan sangat miskin dan menderita. Oleh karena itu, van Deventer
mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat.
Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena
Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang
dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik
etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut
Trilogi van Deventer. Isi Trilogi van Deventer dan
penyimpangan-penyimpangannya.
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1) Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk
mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan
kesejahteraan penduduk,
2) Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi
masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia
yang lebih baik,
3) Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari
daerah yang padatpenduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang
jarang penduduknya agar lebih merata.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer
tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut:
1) Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk
perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari
irigasi.
2) Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan
untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah Pendidikan
yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada
anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi
diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk
anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah
kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3) Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang
dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya
permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan
seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan
lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai
tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan
tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk
mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda
mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa
pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian
dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya.
Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan
harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam
meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan
kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir
abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami
tingkat kemakmuran yang lebih baik dari sebelumnya. Meskipun produksi
untuk ekspor meningkat dengan pesat antara tahun 1870-1900, namun pada
akhir abad 19 mulai nampak bahwa orang-orang Indonesia di pulau Jawa
telah mengalami kemerosotan dalam taraf hidup mereka. Hal ini
menimbulkan kritik-kritik yang tajam di negeri Belanda. (Poesponegoro,
Marwati Djoned: 123-124, 1993)
Sumber : http://tkjkrisma.blogspot.com